Di era ketika hampir semua aktivitas manusia bisa dilakukan lewat layar ponsel, dunia maya menjadi ruang tanpa batas. Kita bisa belajar, bekerja, belanja, bahkan berteman tanpa harus bertatap muka. Namun di balik kemudahan itu, ada sisi gelap yang makin sulit dihindari: penyebaran pornografi anak dan perdagangan seksual online. Fenomena ini bukan sekadar berita sensasional, tapi ancaman nyata yang merayap di sela-sela timeline media sosial kita.
Bayangkan, hanya dengan beberapa klik, pelaku bisa mengakses atau bahkan menyebarkan konten ilegal yang melibatkan anak di bawah umur. Lebih mengerikan lagi, teknologi seperti live streaming, chat anonim, hingga cryptocurrency membuat pelacakan semakin rumit. Modusnya pun beragam mulai dari grooming (pendekatan secara halus) di media sosial, iming-iming pekerjaan, hingga eksploitasi lewat aplikasi kencan. Semua dilakukan dengan topeng akun palsu yang terlihat meyakinkan.
Masalah ini tak hanya soal moral atau hukum. Ada ancaman kesehatan yang jarang dibicarakan: meningkatnya risiko penularan Infeksi Menular Seksual (IMS). Korban yang terjebak perdagangan seksual daring sering dipaksa melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan. Dan di sinilah lingkaran setannya terbentuk eksploitasi seksual berujung pada penyebaran IMS, dari HIV hingga sifilis, yang kemudian menyebar ke populasi yang lebih luas.
Yang bikin situasi ini makin rumit, banyak orang masih berpikir “itu cuma terjadi di luar negeri” atau “enggak mungkin menimpa orang dekat saya.” Padahal, fakta di lapangan menunjukkan kasus di Indonesia meningkat, terutama di kalangan remaja yang aktif di media sosial tapi minim literasi digital. Sebagian dari mereka bahkan tidak sadar sedang menjadi target, karena pendekatan pelaku dibuat sangat halus, penuh rayuan, atau bahkan dibungkus dengan skenario cinta dunia maya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, jangan anggap enteng tanda-tanda grooming atau ajakan yang mencurigakan di internet. Jika kamu atau orang di sekitarmu menerima pesan yang mengarah ke konten seksual, apalagi melibatkan anak, segera laporkan. Kedua, kuatkan literasi digital pahami risiko berbagi informasi pribadi, foto, atau video di platform online. Dan yang terpenting, hentikan stigma terhadap korban. Mereka butuh dukungan, bukan penghakiman.
Kita juga perlu sadar, pencegahan IMS di era digital bukan hanya soal kondom dan edukasi kesehatan seksual, tapi juga tentang memutus mata rantai eksploitasi daring. Karena setiap konten ilegal yang dibagikan bukan hanya melanggar hukum, tapi juga menyiksa korban dua kali pertama saat kejadian, kedua saat rekamannya terus beredar tanpa henti.
Jadi, mulai sekarang, mari kita lebih peka, lebih kritis, dan berani bersuara. Dunia maya mungkin tak punya batas, tapi kepedulian kita bisa jadi pagar terkuat untuk melindungi anak-anak dan remaja dari jerat kejahatan ini.