Kamu pasti sering dengar kata healing, kan? Entah itu dari teman, di TikTok, atau bahkan di caption Instagram. “Lagi healing nih ke Bali”, “Butuh healing ke coffee shop”, atau “Healing bareng bestie biar waras lagi”.
Sekilas, kata healing memang terdengar positif. Siapa sih yang nggak butuh rehat sejenak dari penatnya hidup? Tapi, pernahkah kamu bertanya dalam hati: healing ini benar-benar self-care atau malah diam-diam jadi self-destruction?
Mari kita kupas lebih dalam, dengan santai tapi serius.
Asal-Usul “Healing” Jadi Trend
Awalnya, healing adalah istilah yang dipakai dalam dunia psikologi untuk menggambarkan proses penyembuhan—baik fisik, emosional, maupun mental. Tetapi di era media sosial, makna itu meluas. Remaja zaman sekarang lebih sering pakai healing sebagai alasan untuk jalan-jalan, jajan, belanja, atau sekadar nongkrong.
Nggak salah sih, karena memang refreshing itu perlu. Tapi, ketika setiap lelah selalu diobati dengan “healing versi konsumtif”, apakah itu benar-benar penyembuhan, atau sekadar pelarian?
Healing = Self-Care Kalau…
Nah, healing bisa jadi self-care kalau dilakukan dengan tujuan sehat. Misalnya:
✨ Menenangkan diri – Jalan ke pantai, naik gunung, atau sekadar duduk di taman bisa bikin pikiran lebih jernih.
✨ Merawat kesehatan mental – Mengurangi stres dengan journaling, meditasi, atau tidur cukup.
✨ Menghargai diri sendiri – Traktir diri dengan secangkir kopi setelah kerja keras seharian, tanpa harus over budget.
Artinya, healing di sini benar-benar membantu kamu mengenali kebutuhan diri dan memberi ruang untuk pulih.
Healing = Self-Destruction Kalau…
Tapi hati-hati, healing bisa berubah jadi self-destruction kalau nggak terkendali. Misalnya:
💸 Dompet jebol – Niatnya menenangkan diri, ujung-ujungnya cicilan nambah gara-gara impulsif belanja.
🍻 Pelarian berlebihan – Menganggap party, mabuk, atau hura-hura nonstop sebagai jalan keluar dari masalah.
😵 Menghindari realita – Setiap ada masalah, kabur dengan alasan healing, bukan mencari solusi.
Alih-alih sembuh, kamu justru menumpuk masalah baru: finansial berantakan, hubungan rusak, kesehatan mental makin drop.
Kenapa Remaja Rentan Terjebak di Budaya Healing?
Remaja sekarang hidup di tengah tekanan: tugas sekolah atau kuliah, ekspektasi orang tua, drama percintaan, sampai perbandingan sosial di media. Ditambah lagi, algoritma media sosial sering menampilkan gaya hidup “luxury healing” staycation, traveling ke luar negeri, atau jajan fancy.
Akhirnya, banyak yang merasa “healing itu harus mewah”, padahal esensi healing bukan soal tempat atau harga, tapi bagaimana kamu memberi ruang untuk diri sendiri.
Jadi, Bagaimana Healing yang Sehat?
Coba tanya ke diri kamu:
👉 Apakah ini healing untuk menyembuhkan atau menghindar?
👉 Apakah setelah healing aku merasa lebih ringan, atau justru makin stres?
👉 Apakah healing ini bikin aku lebih sayang diri sendiri, atau malah nyakitin diri pelan-pelan?
Tips simple untuk healing yang benar-benar self-care:
- Jalan kaki sore sambil denger musik.
- Bikin digital detox sehari.
- Nonton film favorit di rumah.
- Nulis jurnal rasa hati.
- Main bareng teman yang bikin nyaman, bukan toxic.
Penutup: Healing Itu Tentang Kesadaran
Healing bukan salah. Justru itu tanda bahwa kamu sadar butuh istirahat. Tapi, jangan sampai healing jadi topeng untuk lari dari kenyataan. Ingat, self-care itu soal merawat diri dengan penuh cinta, sementara self-destruction adalah melukai diri dengan alasan penyembuhan.
Jadi, lain kali kamu pengin healing, coba tanya ke diri sendiri:
“Ini benar-benar buat sembuh, atau cuma pelarian?”
Pilihan ada di tanganmu.