Pernah nggak sih kamu merasa lagi down, tapi orang-orang di sekitar malah bilang, “Udahlah, jangan sedih terus. Positive thinking aja!” atau “Kamu tuh kuat kok, jangan dipikirin banget.”
Sekilas, kalimat-kalimat itu terdengar manis. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi… bukankah itu justru bikin kita makin kesepian? Bukannya dipahami, malah seperti disuruh mengabaikan perasaan sendiri. Nah, di sinilah kita masuk ke istilah yang lagi sering dibahas: toxic positivity.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity itu sikap ketika orang hanya menekankan hal-hal positif, bahkan di situasi yang jelas-jelas sulit atau menyakitkan. Intinya, semua emosi negatif dianggap “nggak boleh ada.”
Padahal, perasaan sedih, kecewa, takut, atau khawatir itu manusiawi banget. Kalau terus ditekan, ujung-ujungnya bisa bikin seseorang ngerasa sendirian, nggak dipahami, bahkan sulit cari pertolongan yang sebenarnya dibutuhkan.
Contoh simpelnya:
- Ada remaja yang stres karena nilai jeblok → malah dibilang, “Udah sih, yang penting kamu sehat.”
- Ada yang lagi bingung soal hubungan percintaan → dijawab dengan, “Nikmatin aja, jangan drama.”
- Ada yang khawatir soal kesehatan, misalnya terkait HIV → malah disemangati dengan, “Ah nggak mungkin kamu kena, jangan parno deh!”
Dampak Toxic Positivity Buat Remaja
Kalau dibiarkan, toxic positivity bisa bahaya. Kenapa? Karena:
- Masalah jadi ketutup – Alih-alih dibahas, masalah jadi kayak “disapu ke bawah karpet.”
- Emosi tertekan – Remaja jadi nggak bisa mengekspresikan rasa takut atau sedihnya.
- Ragu cari bantuan – Kalau terus dibilang “jangan lebay,” lama-lama dia takut terbuka, termasuk soal kesehatan mental maupun kesehatan reproduksi.
- Risiko makin besar – Bayangkan kalau ada remaja yang curiga terpapar HIV, tapi takut cerita atau tes karena lingkungannya terlalu sibuk bilang “udah positif aja mikirnya”. Bisa-bisa dia telat mendapat perawatan.
Hubungannya dengan HIV pada Remaja
Nah, ini yang sering banget nggak kelihatan. Saat bicara soal HIV, remaja rentan menghadapi stigma ganda:
- Stigma dari luar (orang lain menilai negatif)
- Stigma dari dalam diri sendiri (malu, takut, merasa kotor)
Ketika ditambah toxic positivity, masalah jadi makin kompleks. Misalnya, ada remaja yang ingin konseling atau tes HIV, tapi lingkungannya malah ngomong:
- “Udahlah, kamu pasti sehat kok, jangan mikir aneh-aneh.”
- “Kamu masih muda, nggak mungkin kena.”
- “Nggak usah cari masalah deh, nanti malah kepikiran terus.”
Padahal, tes HIV itu bukan berarti hidupmu berakhir. Justru sebaliknya, dengan tahu status sejak awal, kamu bisa hidup lebih sehat, terkontrol, dan terjaga.
Jadi, Gimana Harusnya?
Alih-alih terjebak toxic positivity, coba ganti dengan sikap yang lebih sehat:
- Dengarkan dulu, jangan nge-judge. Kadang orang cuma butuh didengar tanpa disuruh “positive thinking.”
- Validasi perasaan. Katakan, “Aku ngerti kamu lagi takut, itu wajar kok.”
- Tawarkan solusi nyata. Misalnya, “Kalau kamu khawatir soal kesehatan, gimana kalau kita cek bareng di layanan tes HIV?”
- Dukung, bukan memaksa. Ingat, mendukung bukan berarti menutup mata, tapi menemani mencari jalan keluar.
Yuk, Mulai Dari Kita!
Remaja hari ini butuh lingkungan yang bisa jadi safe space, bukan sekadar tempat penuh motivasi palsu. Positif itu penting, tapi realistis juga perlu.
Kalau kamu punya teman yang lagi curiga atau takut soal HIV, jangan buru-buru bilang “kamu pasti baik-baik aja.” Lebih baik dampingi dia, ajak ngobrol, dan arahkan ke layanan konseling atau tes HIV yang terpercaya.
Ingat, peduli itu bukan menutup masalah dengan kata-kata manis, tapi be