ArtikelRemaja

Budaya “Try Everything”: Saat Remaja Terjebak dalam Eksperimen Berbahaya

1
×

Budaya “Try Everything”: Saat Remaja Terjebak dalam Eksperimen Berbahaya

Share this article

Pernah dengar istilah “try everything”?
Kalau diterjemahkan, artinya sederhana: “coba aja semuanya”. Sekilas terdengar positif, ya—seperti ajakan untuk berani keluar dari zona nyaman, mencoba hal baru, bahkan mengasah pengalaman hidup.

Tapi… bagaimana kalau slogan itu jadi bumerang?
Apalagi ketika budaya “try everything” masuk ke dunia remaja yang penuh rasa ingin tahu, tapi belum sepenuhnya matang dalam menimbang risiko.

Remaja, Rasa Penasaran, dan Tantangan Zaman

Remaja adalah fase di mana manusia sedang mencari jati diri. Otak mereka masih dalam proses berkembang, terutama bagian prefrontal cortex—area yang mengatur kontrol diri dan pengambilan keputusan. Artinya, mereka lebih mudah terbawa dorongan instan daripada berpikir panjang soal konsekuensi.

Sekarang coba bayangkan:

  • Media sosial penuh konten challenge yang kadang absurd.
  • Lingkungan pertemanan yang sering menekan dengan kalimat “masa gitu aja takut sih?”.
  • Perasaan ingin terlihat keren, gaul, atau berbeda dari yang lain.

Gabungan itu semua membuat budaya “try everything” jadi jebakan yang berbahaya.

Dari Eksperimen Positif ke Eksperimen Berisiko

Tentu, mencoba hal baru nggak selalu salah. Eksperimen dalam hidup bisa jadi bekal penting. Misalnya:

  • Ikut organisasi di sekolah.
  • Coba olahraga baru.
  • Berani tampil di depan umum.
  • Belajar hal kreatif seperti musik, desain, atau coding.

Itu semua adalah versi positif dari try everything.
Tapi masalahnya, nggak semua “cobaan” aman. Ada juga yang justru menjerumuskan.

👉 Contoh nyata di lapangan:

  • Coba merokok, “biar tahu rasanya”.
  • Ikut pesta miras, “cuma sekali doang kok”.
  • Eksperimen dengan narkoba, “katanya bikin rileks”.
  • Seks bebas tanpa perlindungan, “biar nggak kudet”.
  • Ikutan tren challenge berbahaya di medsos.

Awalnya terlihat seru, tapi bisa berujung pada kecanduan, penyakit, bahkan rusaknya masa depan.

Tekanan “Harus Coba” Itu Nyata

Salah satu tantangan terbesar remaja adalah peer pressure.
Kalimat seperti:

  • “Ah, coba dulu, biar nggak dibilang cupu.”
  • “Kalau nggak ikutan, lu nggak keren.”
  • “Sekali-sekali nggak apa-apa kok.”

Kalimat sederhana ini bisa bikin remaja merasa wajib ikut, walaupun hati kecilnya ragu. Dan di sinilah letak bahayanya. Banyak yang akhirnya melakukan sesuatu bukan karena mau, tapi karena takut ditolak.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Nah, kalau kamu remaja (atau punya adik, anak, keponakan remaja), ada beberapa hal penting yang bisa jadi pegangan:

  1. Berani bilang “tidak”
    Keren itu bukan soal ikut-ikutan, tapi bisa teguh sama prinsip sendiri. Ingat, sekali mencoba hal negatif bisa jadi pintu untuk kebiasaan buruk.
  2. Cari eksperimen versi sehat
    Ingin coba hal baru? Gak masalah! Tapi pastikan itu hal yang membangun. Misalnya ikut lomba, belajar bahasa asing, atau traveling untuk nambah pengalaman.
  3. Kenali konsekuensinya
    Sebelum ikut-ikutan, tanyakan pada diri sendiri: “Kalau aku lakukan ini, dampaknya apa 5 tahun ke depan?”
  4. Bangun circle yang mendukung
    Teman yang baik nggak akan maksa kamu melakukan sesuatu yang merugikan. Pilih lingkungan yang bikin kamu berkembang, bukan tenggelam.

Penutup: Nggak Semua Harus Dicoba

Budaya “try everything” memang menggoda. Tapi ingat, nggak semua hal di dunia ini harus kita coba. Ada batas antara rasa ingin tahu dengan keputusan yang menghancurkan.

Menjadi remaja itu menyenangkan, penuh warna, dan penuh peluang. Jangan sampai masa emas itu hilang hanya karena salah pilih eksperimen.

Kalau ada yang ngajak kamu mencoba sesuatu yang bikin ragu, ingat satu hal: masa depanmu terlalu berharga untuk dipertaruhkan demi sekadar coba-coba.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *