ArtikelDigitalRemaja

Media Sosial dan Seksualitas: Saat Edukasi Tertutup oleh Konten Viral

1
×

Media Sosial dan Seksualitas: Saat Edukasi Tertutup oleh Konten Viral

Share this article

Fenomena ini sudah jadi bagian dari keseharian kita. Media sosial yang awalnya digadang-gadang sebagai ruang berbagi pengetahuan, kini lebih sering dipenuhi dengan konten yang tujuannya satu: mengejar viralitas. Akibatnya? Topik penting seperti edukasi seksualitas yang seharusnya jadi bahan diskusi sehat, apalagi di kalangan remaja dan anak muda malah tenggelam di balik banjir hiburan instan.

Seksualitas: Masih Dianggap Tabu, Padahal Penting

Mari kita jujur. Bicara soal seksualitas di Indonesia masih sering dianggap tabu. Banyak orang langsung menutup telinga begitu mendengar kata “seks”. Padahal, seksualitas bukan sekadar hubungan intim, tapi mencakup banyak hal: identitas, kesehatan reproduksi, keamanan dalam berinteraksi, hingga cara menjaga diri dari risiko penyakit menular seksual.

Sayangnya, karena jarang dibicarakan secara terbuka, banyak orang justru mencari jawaban sendiri lewat internet atau media sosial. Nah, di sinilah masalah muncul. Informasi yang tersebar sering kali setengah-setengah, menyesatkan, atau bahkan bercampur hoaks.

Media Sosial: Antara Edukasi dan Sensasi

Media sosial punya kekuatan luar biasa. Satu postingan bisa menjangkau jutaan orang dalam hitungan jam. Tapi pertanyaannya: apakah yang viral itu selalu bermanfaat?

Bayangkan kalau video tentang cara mencegah penularan HIV, menjaga kesehatan reproduksi, atau pentingnya konsen (consent) dalam hubungan justru kalah dengan video prank yang hanya bikin ketawa sebentar.

Fenomena ini membuat edukasi seksualitas sering kali “terkubur” di bawah konten hiburan. Bukan karena tidak ada yang membuat, tapi karena algoritma media sosial lebih “menyukai” konten yang memicu emosi cepat marah, tertawa, kaget dibanding konten edukatif yang butuh waktu untuk dipahami.

Remaja: Audiens yang Paling Rentan

Siapa sih pengguna media sosial paling aktif? Jawabannya jelas: remaja dan anak muda.
Mereka yang sedang berada pada fase ingin tahu, sering penasaran, tapi juga rentan terpengaruh.

Ketika edukasi seksualitas yang sehat tidak hadir dengan cara yang menarik, akhirnya mereka justru lebih cepat menyerap dari konten viral yang belum tentu benar. Misalnya:

  • Percaya bahwa hubungan seksual pertama kali tidak bisa menyebabkan kehamilan (padahal bisa).
  • Menganggap bahwa PMS/HIV hanya dialami orang tertentu (padahal bisa menimpa siapa saja).
  • Menyimpulkan bahwa seksualitas hanya tentang “aktivitas fisik”, padahal lebih luas lagi.

Inilah kenapa literasi digital dan keberanian membuka percakapan sehat soal seksualitas jadi PR besar bagi kita semua.

Bagaimana Seharusnya?

Nah, ini bagian pentingnya. Kalau memang konten viral sulit dikalahkan, mungkin saatnya edukasi seksualitas juga ikut bertransformasi.

  • Gunakan bahasa yang relatable. Jangan terlalu kaku atau penuh istilah medis yang bikin remaja kabur duluan.
  • Masuk ke platform populer. Kalau anak muda ada di TikTok, Instagram Reels, atau YouTube Shorts ya edukasi harus ikut nongol di sana.
  • Buat konten interaktif. Edukasi bukan hanya ceramah. Bisa lewat Q&A, kuis singkat, atau storytelling yang bikin orang mikir, “Oh ternyata begini, ya!”
  • Kolaborasi dengan influencer. Karena suka atau tidak, suara mereka lebih cepat didengar.

Saatnya Kita Ikut Bergerak

Edukasi seksualitas bukan tanggung jawab satu pihak saja. Guru, orang tua, komunitas, lembaga kesehatan, bahkan kita sebagai pengguna media sosial punya peran. Bayangkan kalau timeline kita nggak hanya berisi gosip artis atau challenge aneh, tapi juga informasi penting yang bisa menyelamatkan masa depan generasi muda.

Jadi, lain kali ketika kamu menemukan konten edukatif di media sosial jangan hanya lewat. Like, share, atau diskusikan. Karena bisa jadi, satu klikmu menyelamatkan seseorang dari keputusan yang salah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *