Pernah nggak sih kamu posting sesuatu di media sosial entah foto, video, atau sekadar story lalu diam-diam berharap notifikasi like dan jumlah followers naik? Rasanya ada kepuasan tersendiri ketika banyak orang memberi perhatian. Tapi… di balik euforia itu, ada pertanyaan besar yang jarang kita sadari: apakah remaja sebenarnya sedang mencari validasi, atau justru butuh proteksi?
Era Digital = Era Validasi
Media sosial sekarang bukan lagi sekadar tempat berbagi momen, tapi sudah jadi arena pertarungan siapa paling dilihat dan paling disukai. Bagi remaja, like sering dianggap sebagai bentuk pengakuan.
- 1 like = aku diterima.
- 10 like = aku mulai diperhatikan.
- 100 like = aku populer.
Masalahnya, kalau angka itu nggak sesuai ekspektasi, muncul rasa kecewa, minder, bahkan cemas. Padahal, algoritma media sosial nggak pernah bisa jadi tolok ukur harga diri seseorang.
Followers: Antara Prestise dan Tekanan
Jumlah followers sering jadi “mata uang sosial” di kalangan remaja. Semakin banyak, dianggap semakin keren. Tapi di sisi lain, semakin banyak juga yang mereka rasakan:
- Tekanan untuk selalu tampil sempurna.
- Takut kehilangan pengikut karena salah langkah.
- Membandingkan diri dengan orang lain yang terlihat lebih “wah”.
Akibatnya? Nggak sedikit remaja yang mengalami stres, kecemasan, bahkan gangguan tidur hanya karena terlalu fokus mengejar angka di dunia maya.
Ketika Validasi Menggerus Kesehatan
Coba kita tarik napas sebentar. Apa artinya kalau kesehatan mental remaja harus jadi taruhan demi validasi digital?
- Gangguan tidur karena begadang mikirin “kok postinganku nggak ada yang like, ya?”
- Rasa cemas berlebihan saat jumlah followers turun.
- Menurunnya kepercayaan diri karena selalu membandingkan diri dengan influencer atau teman sebaya.
- Kesepian terselubung, karena sibuk di dunia maya tapi lupa bersosialisasi di dunia nyata.
Sayangnya, hal-hal ini sering dianggap wajar. Padahal, dampaknya bisa serius kalau dibiarkan.
Proteksi yang Sebenarnya Dibutuhkan
Pertanyaannya sekarang: kalau validasi bisa jadi racun, apa yang bisa jadi penawarnya? Jawabannya adalah proteksi.
Bukan berarti remaja harus dijauhkan total dari media sosial karena dunia digital memang sudah jadi bagian hidup tapi perlu ada safe zone yang melindungi kesehatan mental mereka.
Beberapa hal yang bisa dilakukan:
- Edukasi literasi digital. Biar remaja paham kalau angka like bukan ukuran kebahagiaan.
- Bangun komunikasi terbuka. Orang tua, guru, atau teman dekat bisa jadi tempat curhat tanpa menghakimi.
- Batasan sehat. Misalnya, waktu khusus offline untuk istirahat, olahraga, atau main di dunia nyata.
- Konten positif. Dorong mereka bikin konten yang bermanfaat, bukan sekadar yang “viral”.
- Self-love. Ingatkan bahwa nilai diri jauh lebih tinggi dari sekadar angka di layar.
Jadi, Validasi atau Proteksi?
Pada akhirnya, remaja memang butuh validasi itu bagian dari tumbuh kembang mereka. Tapi jangan sampai validasi digital menggerus kesehatan mental. Di sinilah pentingnya proteksi, agar mereka tetap bisa mengekspresikan diri tanpa kehilangan keseimbangan.
Ingat, like bisa hilang, followers bisa berkurang, tapi kesehatan mental? Itu aset yang nggak bisa ditukar dengan apa pun.