Masa remaja sering disebut sebagai masa pencarian jati diri. Di fase ini, banyak hal baru yang ingin dicoba, mulai dari gaya hidup, pertemanan, hingga cara mengekspresikan diri. Nah, di sinilah titik rawan muncul: remaja seringkali berada pada persimpangan antara pilihan yang sehat dan aman, atau pilihan yang berisiko dan bisa berdampak buruk bagi masa depan mereka.
Pertanyaannya, kenapa sih remaja cenderung rentan terjebak dalam perilaku berisiko? Yuk, kita kupas satu per satu faktornya!
1. Rasa Ingin Tahu yang Tinggi
Remaja punya energi yang besar dan rasa ingin tahu yang meluap-luap. Ingin mencoba hal baru itu wajar, tapi kadang tanpa mempertimbangkan konsekuensi. Misalnya, mencoba rokok karena penasaran, ikut-ikutan teman minum alkohol, atau menjajal pacaran tanpa memahami batasan sehatnya.
👉 Fun fact: Otak remaja, khususnya bagian prefrontal cortex (yang berfungsi untuk mengatur kontrol diri dan pertimbangan risiko), masih dalam tahap perkembangan. Jadi, wajar kalau mereka lebih gampang mengambil keputusan impulsif.
2. Tekanan dari Teman Sebaya (Peer Pressure)
Siapa sih yang nggak ingin diakui di lingkungannya? Remaja sering merasa bahwa diterima oleh kelompok teman lebih penting daripada menolak ajakan yang berisiko. Akhirnya, banyak yang “ngikut aja” meskipun tahu itu salah.
Contoh sederhana:
- “Ayo ikut nongkrong sampai tengah malam, kalau nggak kamu dianggap cupu.”
- “Coba deh, rokok satu batang aja. Semua juga udah nyobain kok.”
Nah, inilah yang bikin banyak remaja terjerumus, bukan karena benar-benar mau, tapi takut dicap berbeda.
3. Faktor Lingkungan dan Keluarga
Lingkungan punya pengaruh yang besar. Remaja yang tumbuh di keluarga harmonis dengan komunikasi yang baik biasanya lebih terlindungi. Sebaliknya, remaja yang kurang mendapat perhatian, sering merasa sendiri, atau bahkan mengalami kekerasan di rumah, cenderung mencari pelarian di luar.
Kalau pelarian itu jatuh ke lingkungan yang salah? Bisa berujung pada perilaku berisiko, seperti narkoba, seks bebas, hingga kenakalan remaja.
4. Paparan Media Sosial
Hidup di era digital membuat remaja lebih cepat terpapar informasi, termasuk gaya hidup yang tidak selalu sehat. Tren di TikTok, Instagram, atau YouTube sering menjadi “patokan keren” meskipun tidak semuanya benar.
Misalnya:
- Konten minum alkohol yang dianggap “gaul”
- Eksperimen challenge berbahaya
- Atau bahkan romantisasi hubungan toksik
👉 Tantangannya: Remaja sering kali belum bisa memfilter mana yang hanya hiburan, mana yang berbahaya jika ditiru.
5. Krisis Identitas dan Pencarian Jati Diri
Di fase remaja, pertanyaan seperti “Aku siapa?”, “Aku mau jadi apa?”, atau “Aku cocoknya di mana?” sering muncul. Saat bingung mencari jawaban, mereka bisa mencoba berbagai hal tanpa batas. Sayangnya, kadang cara “mencari jati diri” ini justru lewat perilaku yang salah arah.
6. Kurangnya Edukasi dan Literasi Kesehatan
Banyak remaja yang tidak mendapat informasi cukup tentang risiko perilaku berbahaya, entah itu soal seksualitas, penggunaan zat berbahaya, atau kesehatan mental. Akhirnya, mereka mencari jawaban sendiri yang seringkali didapat dari sumber yang tidak akurat.
Bayangkan kalau seorang remaja penasaran tentang seks, tapi yang jadi rujukan adalah obrolan teman sebaya atau konten internet yang menyesatkan. Jelas ini bisa menjerumuskan.
7. Faktor Emosional dan Mental
Remaja sedang berada di fase emosi naik-turun. Perasaan galau, marah, kecewa, atau kesepian bisa membuat mereka mencari “pelampiasan” dengan cara instan. Inilah mengapa banyak remaja yang rentan mencoba alkohol, self-harm, atau pergaulan bebas sebagai bentuk pelarian dari masalah emosionalnya.
Jadi, Apa yang Bisa Dilakukan?
Mungkin kamu bertanya, apakah semua remaja pasti akan terjebak perilaku berisiko? Jawabannya: tentu tidak. Tapi potensi itu ada, dan kuncinya ada pada pencegahan serta pendampingan.
- Komunikasi terbuka di keluarga sangat penting, supaya remaja merasa didengar dan dihargai.
- Edukasi yang benar tentang kesehatan, seksualitas, dan bahaya narkoba perlu diberikan sejak dini.
- Membangun lingkungan positif di sekolah maupun pertemanan bisa jadi benteng.
- Dan tentu saja, media literasi agar remaja bisa lebih kritis dalam menyaring informasi dari media sosial.
✨ Kesimpulannya:
Remaja rentan terjebak perilaku berisiko bukan karena mereka “nakal” atau “bandel”, tapi karena masa ini memang fase penuh percobaan dan pencarian jati diri. Dengan dukungan yang tepat, mereka bisa diarahkan untuk menyalurkan rasa ingin tahu dan energinya ke hal-hal positif.
Nah, kalau kamu masih remaja, coba deh pikirkan: “Apa pilihan yang aku ambil hari ini bisa bikin aku bangga sama diriku di masa depan?”
Kalau kamu orang tua, guru, atau kakak, yuk jadilah pendamping yang hangat, bukan hanya pengawas. Karena remaja tidak butuh dihakimi, mereka butuh dipahami.